
Menyoalkan (kembali) Sekolah Fullday
Hari ini, siswa sekolah dipaksakan untuk belajar di rumah. Baik dari siswa PAUD, SD, bahkan hingga mahasiswa. Semua pembelajaran dilakukan secara online, dengan aplikasi zoom, google meet atau microsoft team. Empat tahun yang lalu, ada gagasan tentang sekolah fullday. Jadi siswa belajar di sekolah dari pagi hari hingga sore hari. Udah kayak orang kerja. Fullday.
Mungkin, sekali lagi, orang yang melontarkan gagasan sekolah fullday adalah orang kota. Dimana kota memiliki sarana prasarana pendidikan lebih memadai daripada di desa atau pelosok. Sekolah fullday mungkin cocok buat anak kota yang tahunya cuman sekolah dan kedua orang tuanya kerja. Tapi gagasan itu enggak cocok buat anak desa yang selain sekolah juga punya tanggung jawab, pelihara ternak. Kasi makan, kasi minum atau kasi keturunan.
Beda Anak Kota dan Desa
Anak desa, pulang sekolah lalu cari rumput. Beda ma anak kota, pulang sekolah lalu cari pokemon go.
Anak kota main pokemon gampang. Beda ma anak desa, tantangannya lebih seru. Anak desa, kalo cari pokemon beda. Enggak cuman cari karakter di game tersebut, tetapi juga cari signal. Giliran signal ada, pokemon ada, eh… bukti indosat mo dibeli kembali enggak ada.
Anak kota sekolah seharian enggak ngefek, pulang les atau bimbel juga sore. Anak desa meski tidak ikut les, pulangnya juga sore. Soalnya pulangnya harus mendaki gunung, turuni lembah, sungai mengalir indah ke samudra.
Lu pasti pernah liat perjuangan anak Indonesia yang tinggal di daerah terpencil. Mo sekolah, harus menyeberangi jembatan mo rubuh. Beda ma orang kota, suka di jembatan penyeberangan, malah enggak dipake. Ini kan percuma alias mubazir. Kayak mengharapkan politisi menepati janji-janjinya. Mubazir.
Anak (Korban) Urbanisasi
Anak kota sekolah full day, bisa pulang bareng orang tua yang kerja kantoran. Anak desa enggak bisa, orang tuanya terpaksa urbanisasi, jadi buruh di kota. Kalo mo pulang bareng, nunggu cuti lebaran. Giliran udah lebaran, sekolah libur juga. Ngapain.
Tapi gue setuju ma argumen bahwa siswa sekolah full day bisa mengurangi tawuran. Misalnya dua kelompok anak sekolah lagi hadap-hadapan.
“Woy, anak mana lu?”
“Piss aja Bro, gue udah capek sekolah”
“Ya udah kita pulang…. mana kambing gue belom gue kasi makan lagi”
“Mending, bro… kambing gue belom gue kasi keturunan”